Posted by : Unknown
Sabtu, 22 Desember 2012
Ramadhan Bersama Al-Qur’an. Marhaban Ya Ramadhan. Ramadhan
adalah bulan yang selalu di nanti-nantikan oleh kaum muslim. Kaum
muslimumin mengaggap bulan ini merupakan bulan yang penuh keberkahan.
Setiap dari mereka, selalu menyempatkan mengerjakan dan menambah ibadah
sebanyak mungkin.
Selain itu, bulan Ramadhan
adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di
siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah
al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah
ketenangan jiwa akan didapatkan.
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan
menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Sebagian ulama menafsirkan bahwa
yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah dalam ayat ini adalah
Kitab-Nya. Yaitu, tatkala seorang mukmin mengetahui kandungan hukum dari
ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada kebenaran maka hatinya pun
merasakan ketentraman. Sebab hatinya tidak bisa merasakan ketentraman
tanpa ilmu dan keyakinan, sementara ilmu dan keyakinan itu bisa
diperoleh dengan memperhatikan Kitabullah tersebut (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 418 cet. Ar-Risalah).
Membaca dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an
adalah bagian dari dzikir. Sementara kedudukan dzikir bagi seorang
insan laksana air bagi seekor ikan. Ibnu Taimiyahrahimahullah pernah
mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Apakah yang akan
terjadi jika ikan dipisahkan dengan air?” Bagaimana mungkin seorang
hamba mengaku mencintai Allah, sementara hati dan lisannya kering dari
mengingat dan memuji-Nya?!
Demikianlah yang telah
dipraktekkan oleh salafus shalih. Mereka adalah suatu kaum yang
mengagungkkan Kitabullah dengan semestinya. Mereka tidak hanya mengimani
al-Qur’an sebagai bacaan ataupun wahyu dari sisi-Nya, tetapi mereka
juga menerapkan ajarannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh sebab
itu tidaklah mengherankan jika mereka mendapatkan predikat generasi
terbaik umat ini. Gelar yang layak mereka sandang, sebab Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu).
Para sahabat radhiyallahu’anhum telah menjadi teladan bagi generasi berikutnya dalam menjadikan al-Qur’an
sebagai jalan hidup mereka. Oleh sebab itu mereka pun mulia di sisi
Allah karena ketakwaan mereka, kedalaman ilmu mereka, amal salih mereka,
dan kecintaan mereka yang teramat besar terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan
merendahkan sebagian yang lain dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu).
Mereka adalah sebuah generasi
yang telah ridha terhadap Allah, Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka tidak rela untuk menjual keimanan dan tauhid yang
mereka miliki dengan kenikmatan dunia apapun. Mereka lebih memilih
disiksa daripada harus menuruti kemauan thaghut dan dedengkot kekafiran.
Seperti Bilal bin Rabahradhiyallahu’anhu yang rela tubuhnya tersengat
teriknya panas padang pasir dan kesakitan di bawah tindihan batu dengan
kalimat ‘Ahad, Ahad’ yang terus mengalir dari bibirnya yang mulia.
Itulah manisnya iman yang mereka gapai dengan segenap pengorbanan dan
perjuangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-’Abbas
bin Abdul Muthallibradhiyallahu’anhu).
Para sahabat hidup di bawah
naungan al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat suci itu mewarnai hidup dan
kehidupan mereka, mewarnai hati dan tingkah laku mereka. Tidak
sebagaimana kaum Khawarij yang hanya menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan
di bibir dan lisan mereka. Akan tetapi, pemikiran dan keyakinan mereka
melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah menembus
sasarannya. Kaum Khawarij itulah -meskipun mereka memiliki banyak
hafalan al-Qur’an dan bersungguh-sungguh dalam beribadah- kelompok orang
yang mendapatkan celaan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka lah yang disebut sebagai anjing-anjing neraka.
Sejelek-jelek manusia dan seburuk-buruk kaum yang terbunuh di bawah
kolong langit ini. Bahkan, bagi orang yang berhasil membunuh mereka Nabi
janjikan pahala yang besar di sisi Allah pada hari kiamat kelak.
Para sahabat radhiyallahu’anhum
tidak memandang al-Qur’an sebagai kumpulan dongeng atau cerita pelipur
lara belaka. Bahkan, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai undang-undang
kehidupan mereka dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, dalam hidup
individu dan rumah tangga. Mereka pun tidak menganggap bahwa masa
berlakunya hukum-hukum Kitabullah hanya untuk dua atau tiga generasi
saja. Bahkan, al-Qur’an itu cocok dan sesuai dengan segala masa dan
suasana. Oleh sebab itu Abdullah bin Mas’udradhiyallahu’anhu berpesan,
“Ikutilah tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan ajaran baru,
karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.”
Para sahabat radhiyallahu’anhum
menjadikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang harus diyakini dan diamalkan,
bukan sesuatu yang harus diragukan apalagi untuk diperdebatkan! Mereka
sangat yakin bahwa al-Qur’an adalah sebaik-baik pembicaraan,
sejujur-jujur perkataan, dan sebaik-baik petunjuk bagi kemanusiaan. Ia
diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Tidaklah datang kepadanya kebatilan, dari arah depan, maupun dari arah
belakang. Seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk membuat sesuatu
yang serupa dengannya, niscaya mereka akan gagal dan tidak sanggup
melakukannya, meskipun mereka bahu-membahu dan saling membantu satu
dengan yang lain. Tidak mungkin mereka bisa menandingi mukjizat yang
agung ini. Inilah kemuliaan al-Qur’an yang akan membuat tentram dan
sejuk hati insan beriman. Dan sebaliknya, ia tidak akan mendatangkan
pengaruh kepada orang-orang yang zalim kecuali kerugian dan kebencian.
Salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita dalam mewarnai bulan yang mulia ini dengan interaksi yang intensif bersama al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri setiap tahunnya
menyetorkan hafalan al-Qur’an kepada Jibril ‘alaihis salam di setiap
malam di bulan Ramadhan. Demikian pula salafus shalih, mereka
memperbanyak membaca al-Qur’an di bulan Ramadhan, di dalam maupun di
luar sholat. Az-Zuhri rahimahullah berkata apabila telah masuk bulan
Ramadhan, “Sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk membaca al-Qur’an
dan memberikan makanan.” Imam Malik rahimahullah, apabila telah datang
bulan Ramadhan maka beliau menutup majelis hadits dan mengkhususkan diri
untuk membaca al-Qur’an dari mushaf. Qatadah rahimahullah pada bulan
Ramadhan mengkhatamkan al-Qur’an setiap tiga malam, sedangkan pada
sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkannya setiap malam. Begitu pula
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, pada sepuluh hari terakhir beliau
mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua malam (lihat Majalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin, hal. 26-27 cet. Dar al-’Aqidah)
Wahai saudaraku, ucapan manusia…
Telah membuat kita lupa akan ucapan Rabb kita
Kita sibuk dengan perkataan si fulan atau ‘allan
Sementara kita lalai dari nasehat dan bimbingan ar-Rahman
Saudaraku, bulan penuh berkah ada di hadapan
Jangan sampai ia berlalu sedangkan kita terus tenggelam dalam kelalaian
Ya Allah, Ya Rabbi, pertemukanlah kami dengan bulan itu
Larutkanlah kami dalam malam-malam indah bersama-Mu…
Ayo kaum muslimun, segerakanlah menambah ibadah kita dengan mengerjakan amalan-amalan demi meningkatkan keimanan kita dengan Ramadhan bersama Al-Qur’an.